Program percepatan pemanfaatan bahan bakar nabati
Logo ESDM |
Biofuel terdiri dari
biodiesel (substitusi solar), bioethanol (substitusi bensin) dan minyak nabati
murni- Pure Plant Oil/PPO (substitusi BBM pada pembangkit listrik berbasis
bahan bakar minyak-PLTD).
Pemanfaatan BBN telah
dimulai sejak tahun 2006 dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
2006. Sejak tahun 2009, Pemerintah telah memberlakukan kebijakan mandatori
pemanfaatan BBN pada sektor transportasi, industri dan pembangkit listrik
melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar
Lain. Saat ini, kapasitas terpasang biodiesel telah mencapai 5,6 juta kL/tahun
dari 25 produsen biodiesel yang telah memiliki izin usaha niaga BBN. Sebesar
4,5 juta kL/tahun diantaranya telah siap berproduksi. Sementara itu, kapasitas
produksi bioetanol tercatat sebesar 416 ribu kL/tahun dari 8 produsen bioetanol
yang telah memiliki izin usaha niaga BBN, dan yang siap berproduksi mencapai
200 ribu Kl/tahun.
Sebagai gambaran, produksi
biodiesel di dalam negeri pada tahun 2012 sebesar 2,2 juta kL, atau meningkat 4
kali lipat dari tahun 2010 yang hanya sekitar 500 ribu KL. Sedangkan pada tahun
berjalan (per tanggal 11 Agustus 2013), produksi biodiesel telah mencapai 954
ribu kL, dan yang dimanfaatkan di dalam negeri sebesar 462 ribu kL. Produksi
dan pemanfaatan biodiesel tersebut memang menunjukkan peningkatan setiap
tahunnya, apalagi setelah Pemerintah mulai meningkatkan volume pencampuran
biodiesel pada minyak solar menjadi 7,5% pada awal 2012 dari sebelumnya hanya
5%. Namun jika dilihat dari kapasitas terpasang industri biodiesel
nasional yang mencapai 5,6 juta kL/tahun, pemanfaatan biodiesel di dalam negeri
masih sangat kecil dan memiliki peluang untuk dioptimalkan. Untuk pemanfaatan
bioethanol, sejak tahun 2010 tidak dapat direalisasikan dikarenakan faktor
Harga Indeks Pasar (HIP) bioethanol belum cukup menarik bagi produsen
bioethanol.
Hingga saat ini, Pemerintah telah melaksanakan implementasi pemanfaatan BBN pada:
a. Sektor
transportasi (B-7,5 pada BBM PSO dan B-2 pada BBM Non PSO);
b. ubsektor
industri (B-2 industri pertambangan mineral dan batubara) dan akan diperluas
pada subsektor industri lainnya secara bertahap; dan
c. ektor
pembangkitan listrik.
Pemerintah, dengan
persetujuan DPR RI, telah menyediakan alokasi subsidi untuk pemanfaatan
biodiesel di sektor transportasi PSO sebesar Rp 3000/liter dan bioethanol Rp
3500/liter pada APBN-P 2013 dan RAPBN 2014. Sebagai informasi tambahan, harga
rata-rata solar industri 2013: Rp 8.078/liter; Harga Indek Pasar rata-rata
biodiesel 2013: Rp 7.895/liter; dan HIP rata-rata solar 2013: Rp 7.478/liter.
Perbedaan harga untuk pencampuran BBN pada BBM Non PSO dilakukan dengan
mekanisme pasar, sedangkan perbedaan harga untuk pencampuran biodiesel pada BBM
PSO dan PLN ditanggung melalui mekanisme subsidi.
Sebagai implementasi Paket
Pertama Kebijakan Ekonomi tersebt di atas, Pemerintah telah menetapkan langkah
percepatan pemanfaatan biodiesel dengan meningkatkan target mandatori
pemanfaatan biodiesel di seluruh sektor (tranportasi PSO dan Non PSO,
industri, komersial, dan pembangkit listrik) melalui perubahan terhadap Peraturan
Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008. Target dari penerapan percepatan dan
peningkatan mandatori pemanfaatan biodiesel pada 2013 (September s.d. Desember
2013) diharapkan dapat menghemat BBM impor jenis solar sebesar 1,3 juta kL
(meningkat sebesar 250% dari target awal) dan pada tahun 2014 sebesar 4,4 juta
kL, sehingga dalam satu tahun ke depan terjadi penurunan impor BBM jenis solar
sebesar 5,6 juta KL atau memberikan penghematan devisa sebesar 4.096 juta USD.
Penerapan mandatori
pemanfaatan biodiesel akan diberlakukan untuk seluruh Badan Usaha Pemegang Ijin
Usaha Niaga Umum BBM dan Pengguna Langsung BBM, serta Badan Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik. Pengertian dari Pengguna Langsung BBM adalah perorangan maupun
Badan Usaha yang menggunakan BBM untuk kepentingan sendiri dan tidak untuk
tujuan komersial.
Pada sisi teknis,
peningkatan pencampuran 10% biodiesel dalam minyak solar (B-10) dapat langsung
dilaksanakan karena telah memenuhi standar spesifikasi BBM jenis solar yang
diatur dalam SK Dirjen Migas No. 3675K/24/DJM/2006. Standar kualitas biodiesel
saat ini telah diperbaharui dengan mengacu kepada SNI 7182:2012 dan Keputusan
Dirjen EBTKE No. 723 K/10/DJE/2013. Sedangkan untuk standar kualitas bioethanol
mengacu kepada SNI 7390:2012 dan Keputusan Dirjen EBTKE No. 722 K/10/DJE/2013.
Pencampuran bioethanol ke dalam BBM jenis bensin hingga maksimum 10%-vol telah
diatur di dalam Keputusan Dirjen Migas No. 23204.K/10/DJM.S/2008. Untuk standar
kualitas minyak nabati murni untuk Bahan Bakar Motor Diesel Putaran Sedang
mengacu pada Keputusan Dirjen EBTKE No. 903 K/10/DJE/2013.
Untuk memastikan pelaksanaan
pemanfaatan BBN berjalan lancar sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang
Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN (Biofuel), Pemerintah akan
meningkatkan koordinasi lintas sektoral antara Ditjen EBTKE, Ditjen Migas, BPH
Migas, Ditjen Ketenagalistrikan, Ditjen Minerba, dan kementerian/lembaga
terkait; khususnya dalam hal law enforcement dan pengawasan pelaksanaannya di
lapangan. Bagi para pelaku usaha yang tidak mengindahkan kewajiban pemanfaatan
BBN akan dikenakan sanksi; mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan
ijin usaha yang bersangkutan.
Sebagai bentuk dukungan
terhadap Paket Kebijakan Ekonomi sebagaimana disebutkan di atas, para pihak
terkait diwajibkan untuk memaksimalkan pemanfaatan BBN hasil produksi dalam
negeri. Hal tersebut perlu dilakukan agar manfaat dari penggunaan BBN; antara
lain peningkatan ketahanan energi nasional, peningkatan cadangan devisa
nasional, peningkatan investasi dalam negeri, penciptaan lapangan kerja dan
pengembangan usaha, hingga dampak pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dapat
langsung dirasakan.(esdm)
No comments:
Post a Comment